Revisi UU TNI dan Potensi Kembalinya Militer ke Ranah Sipil
Revisi Undang-Undang TNI kini menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat Indonesia. Lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI diketahui telah menduduki jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan. Jika revisi UU TNI disahkan, jumlah ini berpotensi meningkat—memicu kekhawatiran akan kembalinya era Dwifungsi ABRI yang melekat dalam trauma politik Orde Baru.
Apa Itu Dwifungsi ABRI dan Mengapa Masyarakat Resah?
Dwifungsi ABRI adalah kebijakan yang diterapkan selama pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, di mana militer tidak hanya bertugas mempertahankan kedaulatan negara, tetapi juga aktif dalam birokrasi, politik, dan ekonomi. Militer memiliki hak suara di parlemen, menduduki jabatan menteri, bahkan menjadi kepala daerah.
Pendukung reformasi sektor keamanan memperingatkan bahwa revisi UU TNI yang memperluas keterlibatan militer di sektor sipil bisa menjadi langkah mundur demokrasi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa hal ini dapat mengikis prinsip civilian control over the military—kendali sipil atas militer—yang telah susah payah dibangun pasca-reformasi 1998.
Peran Militer di Era Modern: Perlindungan atau Intervensi?
Beberapa pihak berargumen bahwa keterlibatan TNI di sektor sipil diperlukan untuk menjamin stabilitas nasional, terutama dalam penanganan bencana, keamanan siber, dan ancaman terorisme. Namun, garis pemisah antara dukungan teknis dan intervensi politik sangat tipis.
Kritikus menyoroti bahwa kehadiran prajurit aktif dalam posisi strategis seperti BUMN, kementerian, dan lembaga pemerintah independen berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan menghambat akuntabilitas. Selain itu, budaya komando yang khas dalam militer bisa bertentangan dengan prinsip partisipatif dan transparan dalam pemerintahan sipil.
Opini Publik dan Perang Narasi
Revisi UU TNI bukan hanya soal hukum, tetapi juga perang pikiran dalam mengiring opini publik. Di satu sisi, narasi nasionalisme dan keamanan digunakan untuk membenarkan perluasan peran TNI. Di sisi lain, muncul gerakan sipil yang memperjuangkan batasan tegas terhadap kekuasaan militer.
Media sosial menjadi arena pertarungan narasi ini. Hashtag pro dan kontra terus bersaing, sementara tokoh politik, akademisi, dan mantan petinggi TNI turut menyuarakan pandangan mereka. Masyarakat awam pun mulai kritis, mempertanyakan arah demokrasi Indonesia di masa depan.
Belajar dari Masa Lalu: Trauma Orde Baru yang Belum Hilang
Trauma masa lalu masih membekas kuat. Era Orde Baru meninggalkan warisan panjang atas penyalahgunaan kekuasaan oleh militer, termasuk pelanggaran HAM, penghilangan paksa, dan represi terhadap aktivis. Banyak generasi muda yang kini belajar sejarah kelam ini melalui dokumenter, buku, dan diskusi publik—menyadarkan mereka akan pentingnya kewaspadaan.
“Kita sudah membayar mahal untuk Dwifungsi ABRI. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama,” tegas seorang aktivis HAM dalam diskusi publik baru-baru ini.
Menuju Reformasi yang Berkelanjutan
Reformasi sektor keamanan pasca-1998 sempat membawa harapan besar. Militer secara resmi ditarik dari ranah politik, dan polisi dipisahkan dari struktur ABRI. Namun, dinamika terkini menunjukkan bahwa reformasi belum sepenuhnya selesai.
Untuk mencegah kemunduran, diperlukan:
- Komitmén politik yang kuat dari pemerintah dan parlemen
- Partisipasi aktif masyarakat sipil dalam pengawasan kebijakan pertahanan
- Transparansi dalam penunjukan pejabat, terutama yang melibatkan personel militer aktif
- Pendidikan publik tentang sejarah dan risiko militerisme
References
Akses AI Gratis di https://modeluxai.com